Kamis, 02 April 2015

Belajar Kepada Hujan

 (sumber : pinterest)

Saya menyukai hujan. 
Tepat saat ini saya menikmati indahnya hujan di balik jendela kaca besar dengan segelas haelnut mocchiato panas dan lirikan mata yang tak henti hentinya menatap keluar jendela.
Saya menyukai hujan apa adanya. Awan hitam bergerak perlahan, mendung perlahan, dan rinai kecil membasahi jendela.
Ada yang bilang hujan membawa kita kepada memori masa lalu yang tidak bisa kita cegah. Karena ya itu istimewanya hujan. Selain harum rumput basah yang menguarkan bau khas. Juga orang yang kebut kebutan menghindari hujan.
Pikiran saya lompat satu persatu seirama hujan yang menari di luar sana.

 "Mari kita bercerita" kata hujan. Aku tersenyum. Mendengarkan denting demi denting curhatannya padaku. Padahal sebenarnya akulah yang harus bercerita.
Aku menunggu hingga ia siap berbicara. Alu terdiam membisu. Kali ini dia yang bercerita tentang kepedihannya. 

"Mengapa banyak orang yang tidak suka aku? apakah membuat basah membuat orang benci padaku? adakah yang diam diam bersyukur aku datang?" 
Pertanyaan itu bertubi tubi seperti bentuknya siang ini yang deras dan tak mau berhenti. Seperti kegundahan yang telah lama dipendam kemudian hancur melebur menjadi pertanyaan.
Aku diam. Aku tau, hujan juga mampu menjawabnya sendiri.
Kemudian hujan tersenyum, akupun begitu. 
"Aku salah satunya yang menyukaimu. Kami mencintaimu diam diam yang tidak perlu ditunjukkan orang yang mencintai matahari. Kami mencintaimu sebagaimananya kamu" jawabku.

Hujan mengajarkan aku banyak hal yang tidak aku dapatkan oleh matahari. 
Bahwa ada kalanya keindahan dpat dinikmati disaat kelam dan tak pasti. Kecantikan yang apa adanya yang tidak perlu dipertontonkan seperti sang matahari. Yang kadang sinarnya terlalu menyilaukan. Hujan seperti balerina yang tidak diakui langkahnya, padahal dia menari dari hati yang terdalam. Yang kadang tariannya membuat semua orang tersentak. Hanya sedikit yang terpesona. Jika Mengerti.

Hujan mengajarkan aku tentang kepedihan, sakit hati, kehilangan, air mata, merelakan, dan memaafkan. 
Saat tanah yang basah, saat orang orang berlari menghindarinya, saat lalu lalang kendaraan yang kebut kebutan tak ada habisnya. Merelakan hal yang kau cinta berguguran. Memaafkan sakit hati yang merobek hatimu sedikit demi sedikit. Air mata melihat seseorang yang kau cinta mencintai orang lain. Kepedihan cinta yang dipermainkan. Kehilangan harapan hidup. Untuk apa? "Biar kamu tau hidup itu seperti ini adanya" kata hujan. Aku termenung.

Hujan mengajarkan aku tersenyum di saat yang tidak pasti.
Disaaat semua gejolak hati, hujan mengajarkan aku untuk tersenyum pada hal yang tak pasti. Bersyukur disaat gelap. Berjuang disaaat semua balik menentangmu. Mencintai dirimu apa adanya kamu. 

Hujan mengajarkan aku tentang kesetiaan. 
Kesetiannya pada bumi yang dikunjunginya sesekali untuk membuat daun daun dan pohon pohon bersuka ria. Bahkan di saat manusia membencinya dikarenakan telat bekerja, jalanan becek, jemuran tidak kering, dan kenangan. "Aku tetap datang untuk membuat bumimu subur. Membuat bumimu berpikir untuk berharap kepada matahari. Itu gunanya aku"

Aku diam kemudian berterima kasih.


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Natrarahmani
Maira Gall